Takut akan Kemerosotan? Eliminasilah Sepuluh Hal Ini!

Takut akan Kemerosotan? Eliminasilah Sepuluh Hal Ini!


Sang Buddha berkata bahwa baik bhikkhu ataupun bhikkhuni yang belum mengeliminasi sepuluh hal ini hanya akan mengalami kemerosotan dalam kualitas-kualitas baik. Salah satu dari sepuluh hal tersebut adalah kegemaran akan tidur (kemalasan). Hal ini sangat penting diketahui oleh mereka yang ingin merealisasi Dhamma Mulia. Jadi, simaklah baik-baik, jangan hanya sekedar membacanya!


Cetokhila Sutta (AN 10.14)



Berikut ini adalah penggalan dan ringkasan sutta-nya.


“Para bhikkhu, bagi seorang bhikkhu atau bhikkhuni yang belum mengeliminasi lima kekakuan pikiran[1] dan memotong lima belenggu pikiran, baik itu menjelang siang maupun malam hari, hanya kemerosotan dalam kualitas-kualitas baik yang dapat diharapkannya, bukan pertumbuhannya.


“Apa lima kekakuan pikiran yang belum dieliminasinya? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu bimbang, ragu, tidak mantap, tidak yakin (1) kepada Guru. Siapa pun dia, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang bimbang, ragu, tidak mantap, tidak yakin kepada gurunya, pikirannya tidak condong untuk mengerahkan semangat, untuk berlatih, untuk tekun, untuk berjuang. Karena pikirannya tidak condong untuk mengerahkan semangat, untuk berlatih, untuk tekun, untuk berjuang, [maka] hal ini dikatakan sebagai kekakuan pikiran yang pertama yang belum dieliminasinya.


“Berikutnya, para bhikkhu, seorang bhikkhu bimbang, ragu, tidak mantap, tidak yakin (2) kepada Dhamma ... (3) kepada Sangha ... (4) kepada latihan ...


“Berikutnya, para bhikkhu, seorang bhikkhu (5) marah, kesal, pikirannya menjadi buruk, menjadi kaku kepada teman-teman bhikkhunya. Siapa pun dia, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang marah, kesal, pikirannya menjadi buruk, menjadi kaku kepada teman-teman bhikkhunya, pikirannya tidak condong untuk mengerahkan semangat, untuk berlatih, untuk tekun, untuk berjuang. Karena pikirannya tidak condong untuk mengerahkan semangat, untuk berlatih, untuk tekun, untuk berjuang, [maka] hal ini dikatakan sebagai kekakuan pikiran yang kelima yang belum dieliminasinya. Inilah lima kekakuan pikiran yang belum dieliminasinya.


“Apa lima belenggu pikiran yang belum dipotongnya? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu belum terbebas dari – nafsu, keinginan, rasa sayang, rasa haus, demam, dan pendambaan terhadap (1) kebahagiaan-kebahagiaan dari objek-objek indra. Siapa pun dia, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang belum terbebas dari – nafsu, keinginan, rasa sayang, rasa haus, demam, dan pendambaan terhadap kebahagiaan-kebahagiaan dari objek-objek indra, pikirannya tidak condong untuk mengerahkan semangat, untuk berlatih, untuk tekun, untuk berjuang. Karena [terbelenggu hal ini] pikirannya tidak condong untuk mengerahkan semangat, untuk berlatih, untuk tekun, dan untuk berjuang, [maka] hal ini dikatakan sebagai belenggu pertama dari pikiran yang belum dipotongnya.


“Berikutnya, para bhikkhu, seorang bhikkhu belum terbebas dari – nafsu, keinginan, rasa sayang, rasa haus, demam, dan pendambaan terhadap (2) jasmani ... terhadap (3) bentuk-bentuk materi ...


“Berikutnya, para bhikkhu, seorang bhikkhu (4) setelah makan sebanyak yang dia inginkan hingga perutnya penuh, dia menggunakan waktunya untuk menikmati kesenangan dari beristirahat, kesenangan dari bermalas-malasan, kesenangan dari tidur. Siapa pun dia, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang menggunakan waktunya untuk menikmati kesenangan dari beristirahat, kesenangan dari bermalas-malasan, kesenangan dari tidur, pikirannya tidak condong untuk mengerahkan semangat, untuk berlatih, untuk tekun, dan untuk berjuang.[2] Karena [terbelenggu hal ini] pikirannya tidak condong untuk mengerahkan semangat, untuk berlatih, untuk tekun, dan untuk berjuang, [maka] hal ini dikatakan sebagai belenggu keempat dari pikiran yang belum dipotongnya.


“Berikutnya, para bhikkhu, seorang bhikkhu (5) menjalani kehidupan mulia dengan tujuan untuk terlahir di kelompok para dewa [berpikir], ‘Dengan – praktik moralitas, ketaatan dalam latihan, praktik tapa, dan kehidupan mulia ini, aku akan menjadi seorang dewa [berpengaruh] atau dewa biasa.’ Siapa pun dia, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang menjalani kehidupan mulia dengan tujuan untuk terlahir di kelompok para dewa [berpikir], ‘Dengan – praktik moralitas, ketaatan dalam latihan, praktik tapa, dan kehidupan mulia ini, aku akan menjadi seorang dewa [berpengaruh] atau dewa biasa,’ pikirannya tidak condong untuk mengerahkan semangat, untuk berlatih, untuk tekun, dan untuk berjuang.[3] Karena [terbelenggu hal ini] pikirannya tidak condong untuk mengerahkan semangat, untuk berlatih, untuk tekun, dan untuk berjuang, [maka] hal ini dikatakan sebagai belenggu kelima dari pikiran yang belum dipotongnya. Inilah lima belenggu pikiran yang belum dipotongnya.


“Para bhikkhu, bagi seorang bhikkhu atau bhikkhuni yang belum mengeliminasi lima kekakuan pikiran dan memotong lima belenggu pikiran, baik itu menjelang siang maupun malam hari, hanya kemerosotan dalam kualitas-kualitas baik yang dapat diharapkannya, bukan pertumbuhannya.


“Para bhikkhu, bagaikan bulan di masa bulan gelap, baik itu menjelang malam atau siang hari, kecemerlangannya menurun, kebulatannya menurun, cahayanya menurun, ukurannya menurun. Demikian juga para bhikkhu, bagi seorang bhikkhu atau bhikkhuni yang belum mengeliminasi lima kekakuan pikiran dan memotong lima belenggu pikiran, baik itu menjelang siang maupun malam hari, hanya kemerosotan dalam kualitas-kualitas baik yang dapat diharapkannya, bukan pertumbuhannya.


Di sutta ini Sang Buddha benar-benar mengatakan dengan jelas bahwa para bhikkhu yang belum mengeliminasi sepuluh hal tersebut hanya akan mengalami kemerosotan. Faktor kesembilan dan kesepuluh adalah dua faktor utama yang harus dieliminasi pertama kali. Dengan mempunyai tujuan yang benar dan berjuang sungguh-sungguh, tidak malas-malasan (sering istirahat dan bahkan tidur) maka dapat diharapkan mereka mulai merasakan manfaat dari berlatih Dhamma Mulia ini. Bila hal ini terus dikembangkan, mereka akan dapat melihat ketidakkekalan (anicca), penderitaan atau ketidakpuasan (dukkha), dan tanpa diri/inti (anattā). Kemudian, bila hal ini tercapai maka keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha) akan berkurang. Bukan hanya itu, keyakinan mereka akan bertambah, demikian juga dengan kualitas-kualitas baik lainnya. Itulah sebabnya dua faktor terakhir ini sangatlah penting. Namun sayangnya, malah dua faktor terakhir inilah yang sekarang lebih berkembang di kalangan para bhikkhu. Sungguh menyedihkan!


Maka, bagi mereka yang masih ingin merealisasi Dhamma Mulia ini, tolong ingat baik-baik, miliki tujuan yang benar, kurangi tidur, dan buang jauh-jauh kemalasan.


SELAMAT BERJUANG!


Salam mettā,


Bhikkhu Sikkhānanda Benteng Satipaṭṭhāna Tangerang, Banten, Indonesia 26 Januari, 2017




[1] Cetokhila. Pikiran yang kaku tidak produktif bukan tidak dapat bekerja sama sekali. Bagaikan tanah yang tandus, pohon dapat tumbuh tetapi tidak subur, tidak produktif dan hasilnya terus merosot.


[2] Bukankah hal ini sangat mudah terlihat? Jangankan para umat, bahkan para bhikkhu banyak yang tidak punya waktu untuk berlatih meditasi, tetapi mereka selalu mempunyai waktu untuk mengobrol, memenuhi undangan makan, memenuhi undangan untuk membacakan paritta, jalan-jalan ke tempat rekreasi atau mal (mall), dan tidur siang. Salah satu alasannya dijelaskan di paragraf berikutnya.


[3] Apakah para umat mengetahui bahwa hal ini adalah tujuan dari sebagian besar bhikkhu saat ini? Itulah sebabnya mereka tidak berjuang sungguh-sungguh dalam menjalankan kehidupan kebhikkhuan mereka, dan yang lebih parah adalah mereka juga menganjurkan kepada para umat untuk menekankan aspek dana dan sila.


================================================================


Dimuat oleh Krishna.




source: FB Bhante U Sikkhananda Andi Kusnadi