Hati yang Terbebas by Ajahn Mun

Kutipan Buku
Legenda Spiritual
Ajahn Mun

Hati yang Terbebas

"Waktunya telah tiba bagiku untuk mempertaruhkan hidup dan menghadapi kilesa dalam sebuah serangan yang dasyat , tidak menunjukkan adanya keraguan atau kelemahan. Jika aku kalah , maka biarlah aku mati selagi terus bertempur melawannya .
Aku tidak akan membiarkan diriku mundur kembali ke kekecauan sehingga kilesa mempermalukanku, itu akan menjadi rasa malu yang berlangsung lama .
Jika aku menang , aku bisa terus bebas sempurna selamanya . Jadi sekarang, hanya ada satu jalan bagiku :
Aku harus bertempur sampai mati, dengan segenap kekuatanku demi kemenangan ini.Tidak ada pilihan lain".

Inilah penegasan yang Ajahn Mun gunakan untuk memperteguh dirinya sendiri demi segera merealisasikan cita2 yang telah beliau canangkan bagi dirinya.
Hal ini mencerminkan keputusan tanpa kenal kompromi beliau untuk menjalani tugas berjuang mencapai Nibbana dengan teguh, baik siang dan malam , apakah ketika berdiri , berjalan , duduk atau berbaring , kecuali saat beliau berbaring untuk tidur, seluruh waktunya dibaktikan untuk pengupayaan gigih.

Ajahn Mun mengatakan bahwa citta-nya telah lama mencapai tahapan Ariya ketiga yaitu Anagami, tetapi karena kewajiban terus menerusnya kepada para pengikutnya, beliau tidak punya waktu untuk mempercepat pengupayaannya seperti yang beliau inginkan.
Hanya ketika beliau memiliki kesempatan untuk pergi ke Chiang Mai , beliau baru mampu memaksimalkan praktiknya dan mencapai tujuannya.

Ketika seseorang sampai tahapan terakhir jalan menuju tahapan Arahahatta, adalah mutlak perlu menyelidiki nama Khandha sehingga mencapai semua pemahaman yang jelas dalam mengenai semua fenomena muncul, sebentar eksis, dan kemudian lenyap.
Ketiga aspek2 pemeriksaan ini berhulu dalam kebenaran mengenai Anantta.

Pemahaman teoritis, yang didapat dari pembelajaran, berbeda dengan pemahaman sejati yang didasari oleh kebijaksanaan.
Perbedaannya ibarat bumi dengan langit.
Orang2 yang pemahamannya didasari atas pengetahuan yang didapatkan dari hafalan sangat sibuk dengan ide2 mereka sendiri, selalu mengira mereka sangat cerdas. Padahal sesungguhnya, mereka benar2 tersesat. Akibatnya , mereka jadi terlalu angkuh dan enggan menerima bantuan dan nasihat dari siapa pun.

Kecenderungan arogan ini cukup tampak ketika sekelompok cendekiawan mendiskusikan Dhamma,
dimana setiap orang senantiasa berupaya menjadikan teori2 intelektualnya menjadi yang terbaik. Pertemuan2 seperti ini biasanya merosot menjadi pertandingan tukar kata2 , yang terpicu oleh sikap pementingan diri, sampai semua tak pandang umur, ras, jenis kelamin suku cenderung lupa untuk menjalani tata krama sepatutnya yang seharusnya bisa diharapkan dari orang2 "beradab" seperti itu.