Para Arahant, Boddhisattva, dan Buddha Oleh: Bhikkhu Bodhi
Para Arahant, Boddhisattva, dan Buddha
Oleh: Bhikkhu Bodhi
Kategori: Buku {{#set:Rangkuman=Selama berabad-abad, ideal arahant Theravada dan ideal bodhisattva Mahayana telah menjadi ujung perdebatan diantara dua aliran Buddhisme. Bahkan, menurut argumen penulis, sebuah praktek Buddhis yang sehat dan terintegrasi membutuhkan kedua ideal tersebut.}}
Mematahkan pandangan kuno.
Pada bagian presentasi ini saya ingin menggunakan analisis historis untuk mematahkan pandangan-pandangan dan sanggapan-anggapan kuno yang telah memecah para pengikut dari kedua bentuk Buddhisme. Dari sana kita dapat membahas ke arah penyatuan yang sehat daripada persaingan antara keduanya. Kedua pandangan utama adalah sebagai berikut:
(1) Para Arahant, dan Buddhis Theravāda, secara eksklusif mementingkan keselamatan mereka sendiri daripada manfaat makhluk lain; mereka memiliki perasaan yang mendalam atas kebebasan pribadi karena mereka “takut akan kelahiran dan kematian” dan oleh karena itu hanya memiliki sedikit belas kasihan pada makhluk lain dan tidak melakukan aktivitas yang bertujuan demi manfaat makhluk lain.
(2) Para pengikut sosok ideal Bodhisattva, dan Buddhis Mahāyāna, begitu banyak terlibat dalam proyek-proyek sosial yang ditujukan demi kepentingan makhluk lain sehingga mereka tidak menjalani praktik yang ditugaskan oleh Sang Buddha kepada para siswaNya, yaitu, menjinakkan pikiran dan pengembangan pandangan terang. Mereka menyibukkan diri dengan tugas-tugas sosial dan mengabaikan praktik meditasi.
Saya akan membahas kedua pandangan secara berurutan, dan dimulai dengan para Arahant kuno. Walaupun Sang Buddha adalah yang pertama dalam menemukan sang jalan menuju kebebasan, hal ini bukan berarti bahwa para siswa Arahant secara egois memetik manfaat dari sang jalan dan tidak melakukan apa pun demi makhluk lain. Sebaliknya, dalam sutta-sutta kita dapat melihat bahwa banyak di antara mereka yang menjadi guru-guru besar secara sukarela yang mampu memimpin orang lain menuju kebebasan. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Sāriputta, Mahākaccāna, Mogāllana, dan Ānanda. Ada Bhikkhu Puṇṇa yang pergi ke negeri Sunāparanta yang barbar, membahayakan hidupnya untuk mengajar Dhamma kepada orang-orang di sana. Ada para bhikkhunī seperti Khemā dan Dhammadinnā, yang adalah para pembabar yang mengagumkan, Patācārā, yang adalah ahli disiplin, dan banyak lainnya. Selama empat ratus tahun, teks-teks Buddhis dilestarikan secara lisan, disampaikan dari guru-guru kepada murid-murid, dan jelas ada ribuan bhikkhu dan bhikkhunī yang mengabdikan hidupnya untuk mempelajari teks-teks ini dan mengajarkannya kepada murid-murid, semuanya demi untuk melestarikan Dhamma dan Vinaya yang baik ini di dunia.
Teladan yang dibentuk oleh para siswa Arahant Sang Buddha telah menjadi model bagi para pengikut sosok ideal Arahant sepanjang sejarah. Walaupun mereka yang mengikuti sosok ideal ini tidak melakukan sumpah sombong seperti para pengikut sosok ideal bodhisattva, namun mereka terinspirasi oleh teladan Sang Buddha dan para siswa besarNya demi mengangkat spiritual dan moral orang lain hingga sebatas kemampuan mereka: melalui pengajaran, contohnya, dan melalui pengaruh spiritual langsung, yang dipicu oleh perintah Sang Buddha untuk “mengembaralah demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi belas kasihan kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia.”
Pola hidup seorang pengikut sosok ideal Arahant selaras dalam banyak hal dengan pola hidup Sang Buddha. Saya mengambil contoh mereeka yang belum mencapai Kearahantaan namun berlatih dalam kerangka ini dan telah mencapai beberapa pencapaian tingkat spiritual yang lebih tinggi. Pada bagian awal dari kehidupan mereka, mereka pergi ke vihara di hutan atau ke pusat meditasi untuk berlatih di bawah bimbingan seorang guru yang kompeten. Kemudian, setelah mencapai tingkat kematangan yang mencukupi untuk berlatih sendiri, mereka akan pergi ke tempat sunyi untuk mengembangkan latihan mereka selama suatu periode lima tahun atau lebih. Kemudian, pada titik tertentu, pencapaian mereka mulai mempengaruhi orang lain. Mereka mungkin mulai mengajar atas insisiatif mereka sendiri, atau guru mereka akan meminta mereka untuk mulai mengajar, atau murid-murid akan menyadari bahwa mereka telah mencapai beberapa kondisi mulia dan memohon bimbingan dari mereka. Mulai titik ini dan seterusnya, mereka akan mulai mengajar, dan pada waktunya mereka akan menjadi guru spiritual yang terhormat, dengan banyak murid dan banyak pusat latihan di bawah bimbingan mereka.
Berlawanan dengan gambaran “kebebasan pribadi yang egois” yang dituduhkan oleh Buddhis Mahāyāna kepada para Arahant dan mereka yang mengikuti srāvaka-yāna, guru-guru yang menonjol dari tradisi Theravāda sering kali mengajar ribuan murid, baik murid monastik maupun murid awam. Beberapa di antara mereka mungkin bekerja sepuluh jam atau lebih dalam sehari. Misalnya, belakangan ini, Yang mulia mahasi Sayadaw dari Burma mendirikan ratusan pusat meditasi di Burma dan memimpin Konsili Buddhis ke Enam; Ajahn Chah memiliki vihara utama dan banyak vihara cabang di Thailand, salah satunya dikhususkan untuk para bhikkhu luar negeri; Yang Mulia Pa Auk Sayadaw, U Pandita, dan Bhante Gunaratana – para guru meditasi Theravāda masa kini – melakukan perjalanan ke seluruh dunia untuk mengadakan kursus; ajahn Maha Boowa, pada usia 93 dianggap sebagai seorang Arahant, menyokong enam puluh rumah sakit di Thailand, dan secara rutin mengunjungi rumah sakit-rumah sakit itu untuk memberikan penghiburan kepada pasien dan membagikan obat-obatan. Mereka yang tidak kompeten sebagai guru meditasi masih dapat menjadi ahli teks-teks dan filosofi Buddhis dan mengabdikan diri untuk membimbing orang lain dalam memahami Dhamma, apakah dengan melatih para bhikkhu dan bhikkhunī, dengan memberikan instruksi kepada umat awam, dengan mengajar di sekolah-sekolah monastik Buddhis, atau dengan memberikan khotbah di vihara-vihara.
Dari perspektif Theravāda, walaupun pekerjaan social tentu saja dipuji, namun dari semua manfaat yang dapat diberikan kepada orang lain, manfaat yang paling berharga adalah pemberian Dhamma. Dengan demikian pencarian kebebasan sebagai seorang Arahant bukanlah murni bersifat pribadi, pekerjaan pribadi, tetapi memiliki pengaruh yang lebih jauh dan dapat berdampak pada keseluruhan masyarakat. Di Negara-negara Theravāda tradisional, sebelum masuknya pengaruh buruk dari Barat, seluruh kehidupan komunitas berputar di sekeliling Dhamma. Para bhikkhu yang bermeditasi di hutan dan gunung adalah sumber inspirasi dan model bagi masyarakat; mereka yang memberikan khotbah dan mengajar di desa-desa membantu menyampaikan Dhamma kepada penduduk. Komunitas awam, dari raja hingga penduduk desa, melihat tugas utama mereka sebagai penyokong Sangha. Maka tujuan tertinggi Kearahantaan menjadi titik pusat bagi keseluruhan sistem sosial yang dipicu dan dipelihara oleh pengabdian pada Dhamma.
Mereka yang mengejar tujuan nirvāṇa tidak menunggu hingga mereka menjadi para Arahant sebelum mereka mulai membantu orang lain. Dalam sistem ini, memberi dianggap sebagai dasar dari semua kebajikan; memberi adalah landasan pertama dari kebajikan dan yang pertama dari sepuluh pārami. Demikianlah naskah-naskah Pāḷi, dan para bhikkhu dalam khotbah mereka, mendorong orang-orang untuk memberi hingga sebatas kemampuan mereka. Orang-orang awam menyokong Sangha dengan kebutuhan materi mereka yang sederhana berupa makanan, jubah, tempat tinggal, dan obat-obatan. Mereka juga memberi secara murah hati kepada orang-orng miskin dan malang. Di Sri Lanka, misalnya, kampanye donor darah adalah lazim dilakukan pada hari-hari libur Buddhis, dan banyak orang yang mendanakan mata mereka pada bank-bank mata dan organ-organ tubuh mereka untuk penelitian medis setelah kematian mereka. Saya mengetahui baru-baru ini bahwa di Sri Lanka, lebih dari 200 bhikkhu telah mendanakan ginjal mereka, tanpa memikirkan imbalan atau manfaat pribadi apa pun juga, hanya sebagai hak untuk memberikan organ tubuh. Para bhikkhu yang memiliki pengetahuan Dhamma dan terampil dalam berbicara menjadi pembabar dan guru-guru. Mereka yang memiliki keterampilan manajerial dapat menjadi pengurus-pengurus vihara. Beberapa yang sangat kuat termotivasi untuk berusaha mencapai kebebasan dalam kehidupan ini mengabdikan usahanya untuk bermeditasi di pertapaan-pertapaan hutan. Guru-guru meditasi yang terampil akan mengabdikan waktu mereka untuk mengajar meditasi dan juga akan mengusahakan waktu untuk mengembangkan latihan mereka sendiri. Kadang-kadang mereka terpaksa menunda latihan mereka untuk memenuhi tugas-tugas mengajar.
Begitu banyak kesalah-pahaman sehubungan dengan sosok ideal Arahant, dan sekarang untuk sosok ideal bodhisattva: saya pikir adalah terlalu sederhana untuk menyamakan pencarian sosok ideal bodhisattva dengan keterlibatan dalam pelayanan sosial dan untuk menganggap bahwa seorang bodhisattva mengabaikan semua latihan pada jalan menuju kebebasan. Dalam pemahaman saya, landasan dari jalan bodhisattva adalah munculnya bodhicitta (bodhicittotpāda), cita-cita untuk mencapai pencerahan tertinggi. Ini biasanya muncul hanya melalui latihan tekun dalam meditasi. Menurut sumber resmi tentang meditasi Buddhis Mahāyāna, untuk menghasilkan bodhicitta, seseorang harus secara sistematis melatih pikiran untuk melihat semua makhluk sebagai ibu dan ayahnya, saudara-saudara laki-laki dan perempuan, dan memancarkan cinta kasih dan belas kasih agung yang tanpa batas kepada mereka, hingga persepsi demikian menjadi alami dan spontan. Hal ini tidak mudah. Saya membaca bahwa Dalai Lama pernah mengatakan bahwa ia sendiri pernah mengalami bodhicitta sebenarnya hanya beberapa kali, masing-masing selama beberapa saat, ini memberikan kita gagasan betapa sulitnya pencapaian demikian itu. Hal ini tidak dapat dicapai hanya dengan secara santai terlibat dalam sedikit kegiatan pelayanan social dan kemudian meyakinkan diri bahwa ia telah membangkitkan bodhicitta.
Benar bahwa bodhisattva bersumpah untuk bekerja demi kesejahteraan makhluk lain dalam cara yang lebih luas daripada pengikut kendaraan srāvaka, tetapi usaha-usaha demikian adalah kecil nilainya jika tidak didorong dan disokong oleh bodhicitta sejati. Selain membangkitkan aspirasi bodhicitta, bodhisattva harus menerapkan bodhicitta melalui praktik enam pāramitā dan perbuatan-perbuatan penyangkalan diri lainnya dari seorang bodhisattva. Pāramitā tersebut dimulai dengan dāna-pāramitā, kesempurnaan dalam memberi. Keterlibatan sosial tentu saja termasuk dalam kelompok ini, karena hal ini melibatkan memberikan pemberian materi dan keselamatan kepada orang lain. Tetapi pemberian-pemberian ini, walaupun berharga, namun tidak menyamai nilai dari pemberian Dharma, karena pemberian Dharma menuntun menuju padamnya penderitaan secara permanent. Agar memenuhi syarat untuk memberikan pemberian ini membutuhkan keterampilan yang melampaui pelayanan sosial.
Kesempurnaan spiritual berikutnya adalah sīla-pāramitā, kesempurnaan moralitas, dan keterlibatan sosial dapat termasuk dalam moralitas perbuatan altruistik, perbuatan yang memberi manfaat kepada makhluk lain. Selagi terlibat dalam pelayanan sosial, seorang bodhisattva juga harus mempraktikkan kesabaran – kesabaran dalam menahankan kondisi-kondisi sulit, kesabaran dalam menahankan celaan dan hinaan dari orang lain; maka ia memenuhi ksānti-pāramitā, kesempurnaan kesabaran. Dan pekerjaan pelayanan sosial menuntut kegigihan. Hal ini membantu dalam memenuhi vīrya-pāramitā, kesempurnaan kegigihan. Demikianlah keterlibatan sosial dapat berkonstribusi pada pemenuhan empat dari enam pāramitā.
Tetapi bodhisattvā juga harus memenuhi dhyāna-pāramitā dan prajñā-pāramitā, kesempurnaan meditasi dan kebijaksanaan, dan kedua kesempurnaan ini memerlukan pengadopsian gaya hidup kontemplatif. Prajñā-pāramitā Sutra mengatakan bahwa prajñā-pāramitā menuntun dan mengarahkan kelima pāramitā lainnya, dan kelima pāramitā lainnya menjadi “kesempurnaan” atau kualitas transenden hanya jika dihubungkan dengan prajñā-pāramitā. Tetapi prajñā-pāramitā hanya dapat dicapai melalui praktik kontemplatif, dengan mengusahakan gaya hidup yang serupa dengan seorang yang berusaha mencapai Kearahatan.
Sūtra-sūtra Mahāyāna awal, seperti Ugraparipcchā Sūtra, tidak merekomendasikan bahwa bodhisattva monastik pemula tenggelam dalam pekerjaan sosial; sebaliknya, mereka harus mengarahkannya agar memasuki hutan dan memberikan instruksi kepadanya agar mengabdikan dirinya pada usaha-usaha bermeditasi. Jika kita melihat sejarah Buddhisme Mahāyāna, apakah di India, China, atau Tibet, kita akan melihat bahwa guru-guru besar Mahāyāna seperti Nāgārjuna, Asanga, dan Atīsha di India; Huineng, Zhiyi, dan Xuancang (Hsuan Tsang) di Chiina; Longchen, Gampopa, dan Tsongkhapa di Tibet, tidak terkenal karena keterlibatan mereka dalam pelayanan sosial, melainkan karena pencapaian mereka sebagai filsuf, terpelajar, guru-guru meditasi. Sang Buddha sendiri mencapai pencapaian tertinggi dalam meditasi. Karena para bodhisattva bertujuan untuk mencapai Kebuddhaan, maka adalah wajar jika mereka seharusnya sempurna dalam keterampilan meditatif yang menjadi karakteristik seorang Buddha.
Walaupun landasan motivasi dan filosofis bagi para pengikut kendaraan bodhisattva berbeda dengan landasan motivasi dan filosofis bagi para pengikut kendaraan srāvaka, namun gaya hidup keduanya tidak jauh berbeda. Gambaran yang popular dari Arahant yang terasing sendirian, dan bodhisattva yang suka berkelompok dan super-aktif adalah fiksi belaka. Dalam kenyataannya, kedua ini saling serupa satu sama lain lebih dari yang dapat kita pikirkan. Para Arahant, dan mereka yang berusaha untuk mencapai Kearahantan, sering kali bekerja tanpa kenal lelah bagi kemajuan spiritual dan material orang-orang lain. Para bodhisattva, mereka yang bercita-cita untuk menjadi bodhisattva, sering kali harus melewatkan jangka waktu yang panjang dalam kesunyian meditasi untuk melatih keterampilan meditatif yang diperlukan bagi mereka untuk mencapai Kebuddhaan. Mereka juga harus mempelajari semua doktrin dan jalan dari kendaraan srāvaka, namun tanpa benar-benar mengaktualisasikan jalan itu. Para bodhisattva harus belajar memasuki pencerapan meditatif, melatihnya, dan akhirnya menguasainya. Mereka harus merenungkan ketiga karakteristik ketidak-kekalan, penderitaan, dan tanpa-diri. Mereka harus memperoleh pengetahuan pandangan terang ke dalam ketiga karakteristik. Mereka berbeda dengan srāvaka hingga sejauh bahwa seorang srāvaka bertujuan untuk menggunakan pengetahuan pandangan-terang untuk mencapai nirvāṇa. Seorang bodhisattva akan menghubungkan praktik sang jalannya dengan cita-cita bodhicitta, sumpah bodhisattva, dan semangat belas kasihan agung. Dipelihara oleh penyokong-penyokong ini, seorang bodhisattva akan mampu merenungkan sifat realitas tanpa mencapai nirvāṇa hingga ia semua kualitasnya matang menjadi kesempurnaan dalam Kebuddhaan. Di antaranya adalah kesempurnaan memberi dan memberikan manfaat kepada makhluk-makhluk hidup. Tetapi pemberian tertinggi yang dapat diberikan seseorang adalah pemberian Dharma, dan manfaat ternaik yang dapat diberikan kepada makhluk-makhluk hidup adalah mengajarkan Dharma kepada mereka dan menuntun mereka dalam Dharma. Walaupun seorang bodhisattva tentu saja dapat terlibat dalam pelayanan sosial sebagai suatu ungkapan belas kasihannya, untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dari jalan bodhisatta seseorang memerlukan lebih banyak keterampilan berbeda daripada yang dilakukan dalam keterlibatan sosial, keterampilan-keterampilan yang lebih dekat dari itu dimiliki oleh Arahant.
Menuju suatu integrasi sehat dari kendaraan-kendaraan
Dalam pandangan saya, kedua jalan (atau kendaraan) – jalan Arahant dan jalan bodhisattva – dapat dilihat sebagai ungkapan yang benar dari ajaran Buddha. Akan tetapi, keduanya harus selaras dengan kriteria formal tertentu. Dalam hal prinsip, keduanya harus selaras dengan ajaran-ajaran seperti empat kebenaran mulia, tiga karakteristik, dan kemunculan bergantungan; dan dalam hal praktik, keduanya harus menambahkan etika baik dan mengikuti skema tiga latihan dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Meskipun demikian, bahkan jika kriteria-kriteria ini dipenuhi, kita masih harus menghindari segala jenis sinkretisme yang mengarah pada pencemaran ajaran-ajaran asli dari Buddha historis, dengan menganggapnya hanya sebagai alat bantu atau adaptasi pada iklim religius di India pada masaNya yang diterjemahkan menyimpang oleh ajaran-ajaran yang muncul pada periode belakangan. Jenis toleransi yang diperlukan adalah yang menghormati ke-otentik-an Buddhisme Awal sejauh kita dapat menentukan sifatnya dari catatan-catatan sejarah yang paling tua, namun juga dapat mengenali kapasitas Buddhisme untuk menjalani transformasi sejarah yang asli yang membawa kepada manifestasi potensi tersembunyi dari ajaran kuno, transformasi tidak harus bahwa sesuatu harus muncul sejak awal ajaran akan tetapi yang memperkaya tradisi yang bersumber langsung dari Sang Buddha.
Ketika kita mengadopsi pendekatan ini, kita dapat sungguh-sungguh menghormati para praktisi yang bekerja dengan tekun untuk mencapai tujuan akhir Dhamma di sini dan saat ini, untuk mencapai nibbāna, padamnya penderitaan, dengan mengikuti jalan mulia berunsur delapan hingga akhirnya. Kita dapat menghormati mereka yang memuliakan ajaran dengan menunjukkan bahwa ajaran itu sungguh menuntun menuju kebebasan tertinggi, untuk terjun ke dalam kondisi yang tidak dilahirkan dan tidak terkondisi, unsure keabadian, yang sering dipuji oleh Sang Buddha, dengan menyebutnya sebagai mengagumkan dan menakjubkan, kemurnian damai, kebebasan yang tidak tertandingi. Sekali lagi, dengan mengambil pendekatan ini, kita juga dapat menghormati mereka yang bersumpah untuk mengikuti jalur belas kasihan bodhisattva, dan yang menjadikan sumpahnya sebagai suatu tindakan yang lebih dari kewajiban, bukan karena hal ini adalah kondisi yang diperlukan bagi pembebasan sejati mereka. Kita dapat menghormati dan menghargai cinta kasih mereka, belas kasihan mereka, cita-cita agung mereka, dan pelayanan mereka yang sampai mengorbankan diri sendiri demi dunia. Buddhisme sejati memerlukan seluruh tiga ini: Buddha, Arahant, dan Bodhisattva. Diperlukan Buddha untuk menemukan dan mengajarkan jalan menuju kebebasan; diperlukan Arahant untuk mengikuti sang jalan dan mengkonfirmasi bahwa Dharma sungguh menuntun menuju kebebasan, menghias ajaran dengan teladan dari mereka yang menjalani kehidupan suci yang paling murni; diperlukan bodhisattva untuk membawa tekad untuk menyempurnakan kualitas-kualitas yang memungkinkan mereka pada suatu titik tertentu di masa depan, apakah jauh atau dekat, untuk menjadi Buddha dan sekali lagi memutar Roda Dharma yang tanpa bandingnya.
Sumber: dhammacitta.org