Buah Karma
Buah Karma
Phra Khru, menemui nyonya Pun yang sedang berbaring sakit di ranjangnya, diberanda matrasnya. basah oleh air kencing dan nanah, udaranya bau.
" Pengiring Pun, saya datang berkunjung," beliau berkata menyapa.
Somchai mengangkat sebuah kursi supaya beliau dapat duduk di sisi ranjang.
" Apakah itu engkau, Luang Poh? Anda telah datang untuk mengunjungi saya? Saya sangat berterimakasih," dia berkata, mengangkat tangannya memberi hormat. Dia telah lumpuh selama lima atau enam tahun.
" Somchai, dimana hadiahnya?" biksu itu bertanya, yang beliau maksud adalah barang-barang yang beliau bawa dari Wihara Ambhawan.
" Ada di mobil Bhante. Tunggu sebentar, saya akan membawakannya untuk Anda." dia menuruni tangga dan sesaat kemudian kembali dengan sebuah nampan kecil. Didalamnya ada sekaleng ovaltine, susu segar, dan susu kental manis. Dia meletakkannya disisi ranjang dan kembali duduk agak jauh karena tidak tahan baunya.
" Anda telah datang mengunjungi saya, itu sudah cukup, Anda tidak perlu membawa apapun," Nyonya Pun berkata, takut menyinggung biksu itu.
" Tidak apa-apa, Saya sangat bahagia dapat membantu apapun yang saya bisa bantu, Tidak usah dipikirkan. Kamu sendirian, bukan? Dimana pria itu?" beliau bertanya,tentang suaminya.
"Dia telah pergi ke sawah untuk melihat panen. Kami menyewa beberapa orang dengan tarif dua puluh baht sehari, jadi dia harus mengawasi pekerjaannya. Tampaknya ada sepuluh orang yang datang hari ini."
"Dan apa kamu sudah makan? Dapatkah Anda melakukannya sendiri?" biksu itu bertanya dengan penuh perhatian.
" Tidak masalah, Luang Poh, Pagi ini Tid menyuapi saya sebelum pergi ke sawah. Sore nanti dia kembali untuk menyuapi saya lagi. Makan bukanlah masalah, buang air kecil dan buang besar yang menjadi masalah. Sangat bau." Dia berkata, takut menyinggung Phra Khru. Dia tahu beliau tidak tahan baunya. Bahkan murid spritualnya telah pindah lebih jauh.
Phra Khru harus menetapkan kesadarannya pada "bau,bau", karena dia adalah selalu orang yang mencintai kebersihan,
" Dimana anak-anakmu? Kamu punya banyak anak, bukan?"
beliau bertanya, sambil dalam hati memarahi anak-anaknya karena meninggalkan ibunya seorang diri seperti ini.
"Mereka semua punya keluarga mereka sendiri dan telah pindah jauh. Sejak saya membagikan tanah pada mereka, masing-masing 300 rai ( 1 rai setara dengan 1.600 m2 ) , tidak ada satu pun yang menunjukkan wajahnya disini lagi. Hanya tersisa putri saya yang paling kecil, dia sedang mengejar gelar master. Dua atau tiga hari yang lalu, dia datang untuk memberitahu saya supaya menyiapkan sekitar dua puluh ribu baht untuknya, dia mengatakan dia ingin menerbitkan buku."
Suara klakson mobil terdengar dari depan rumah.
Phra Khru menoleh dan melihat sebuah mobil BMW berwarna tembaga yang masuk ke tempat parkir di samping mobil vannya.
Pengemudinya adalah seorang wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun, ditemani oleh lima teman sebaya lainnya.
Gerombolan anjing itu berlari menuju mereka tetapi diusir pergi oleh si pembawa mobil.
"Saya akan naik ke atas sebentar untuk mengambil uang dari ibu saya. Saya tidak tahu apa dia sudah punya uangnya," dia berkata sambil menuntun kelompok itu naik tangga. Melihat seorang biksu sedang duduk di disamping ibunya, dia memberi hormat sesuai kebiasaan.
" Siapa yang akan kamu temui?" biksu itu bertanya.
" Saya datang untuk menemui ibu saya. Saya adalah putri orang ini, yang sedang berbaring di ranjang," dia berkata, menunjuk ibunya.
Sementara teman-temannya, mereka menunggu agak jauh.
" Baguslah kamu sudah datang! Maukah kamu membantu cuci baju dan rok ibumu? Bau air kencing dan tinjanya mengerikan."
"Tidak, saya tidak bisa, Luang Poh. Saya sedang terburu-buru."
Dia menatap sekilas ke arah teman-temannya, yang mengedipkan mata kepadanya sebagai tanda, 'jangan mencuci'.
"Mengapa terburu-buru?"
"Kami harus pergi ke upacara pemakaman salah satu saudara teman saya di Ayudhya," dia menjawab, merasa terngangu oleh pertanyaan itu.
"Mengapa kamu tidak mencuci baju ibumu dulu, dan kemudian pergi, hanya akan memakan waktu dua puluh menit, saya yakin."
Gadis itu menoleh untuk melihat teman-temannya, yang membuat tanda lain lagi "jangan mencuci" Dia menoleh kembali ke Phra Khru, " Maafkan saya Luang Poh, teman-teman saya sudah menunggu."
"Biarkan mereka menunggu sesaat, tidak ada salahnya"
" Saya takut kami akan terlambat ke upacara pemakaman," dia menjawab dengan kasar, merasa ternganggu. Apa urusan seorang biksu dengannya? Bahkan, ibunya sendiri tidak berani meminta untuk dilayani.
Phra Khru mengetahui pikiran gadis muda itu. Keteguhannya untuk membuat dia mencuci baju ibunya adalah agar membantu menetralkan sebagian karmanya.Tetapi ketidaksenangan tampak jelas di wajah wanita itu.
Biksu itu lalu berkata dengan keras, "Maafkan saya, saya ingin menanyakan sebuah pertanyaan padamu. Apa orang yang telah meninggal itu lebih penting bagimu daripada ibumu? Dan jika tidak pergi, apakah upacara pemakaman akan dibatalkan?" beliau bertanya menyindir. Tetapi dia tidak menaruh perhatian dan menoleh pada ibunya.
"Ibu dua puluh ribu baht, apa ibu sudah punya? Uang yang saya minta untuk menerbitkan tesis saya."
"Saya masih belum memilikinya anakku. Ayahmu masih sibuk dengan panen sehingga dia tidak punya waktu untuk pergi mencari pinjaman," Nyonya Pun berkata dengan takut-takut, khawatir membuat putrinya marah.
" Dan kapan saya bisa mendapatkannya? Saya telah memberitahumu berhari-hari yang lalu," putrinya setengah berteriak.
Phra Khru mengambil kesempatan memotong.
"Dimana engkau belajar, Nona?"
"Saya sedang mengambil gelar master di Bangkok. Saya sedang membuat tesis, dan saya datang untuk meminta uang untuk menerbitkannya," dia berkata dengan sombong, merasa lebih nyaman sekarang karena biksu itu bertanya tentang kuliahnya.
"Oh jadi kamu sedang mengambil gelar master. Diinstitusi mana?"
Wanita muda itu memberitahunya, salah satu universitas terkenal di Thailand
Biksu itu kemudian berkata, "Sungguh luar biasa ada orang sepertimu dapat belajar di institusi yang begitu baik."
"Mengapa Anda mengatakan itu?"
" Karena ini menodai nama institusinya,"beliau berkata dengan datar.
"Bagaimana bisa ternoda? Kesalahan apa yang saya lakukan?"
"Kamu telah salah, karena tidak memiliki rasa terimakasih di dalam hatimu. Ibumu terbaring sakit diranjang, Bukannya menolongnya, kamu melihat saudara temanmu sebagai orang yang lebih penting. Saya ingin berbicara terus terang seperti ini. Sungguh sayang kamu sekolah begitu tinggi tetapi tidak memiliki moral.Ingatlah, pengetahuan harus seiring dengan moral. Hanya pengetahuan belaka tetapi tanpa moral, kamu tidak bisa jadi orang yang baik."
Phra Khru memberikan sebuah ceramah tanpa diundang.
Beliau tahu bahwa wanita ini akan menerima karma yang sangat berat, dan beliau ingih meringankannya, jadi beliau mengajarinya walaupun beliau tahu dia akan marah. Atas dasar keinginannya untuk mencegah orang bertemu dengan karma buruk,
dia menambahkan dengan lembut,
" Saya memohon padamu. Maukah kamu membantu membawa baju ibumu untuk dicuci? Dengan demikian kamu akan maju. Meski tidak pantas, saya akan memberi hormat padamu sekarang."
"Saya tidak akan mencucinya. Tidakkah Anda lihat, kalau saya sedang terburu-buru? Jika Anda ingin dia dibersihkan, bersihkanlah sendiri," kata murid itu dengan kasar.
"Jika dia adalah ibu saya, saya akan mencucinya tanpa ragu-ragu. Tetapi saya tidak bisa melakukannya karena hal itu bertentangan dengan aturan kebiksuan.Seorang biksu boleh membersihkan seorang wanita yang adalah ibunya, tidak ada orang lain lagi."
"Peratura apa ? Saya tidak peduli dengan peraturan Anda. Ibu, saya harus pergi. Jangan lupa menemukan uang itu untuk saya," dia berkata sambil berjalan turun dari rumah itu bersama teman-temannya, lupa memberi hormat kepada Phra Khru.
Kepala Wihara Ambhawan melihat dengan hati berat ketika mobil BMW itu berjalan pergi. Beliau menoleh untuk berbicara kepada Nyonya Pun.
"Tidak ada baiknya sama sekali. Bagaimana kamu bisa membesarkan anak-anakmu menjadi seperti itu?"
" Ini adalah karma saya, Luang Poh." Pun berkata, sembari menangis. "Dia berkata apabila dia menginginkan uang untuk menerbitkan bukunya.Saya tidak tahu harus mendapatkannya dari mana. Saya telah membagi semua harta. Dia menjual seluruh tiga ratus rai untuk mendapatkan satu mobil. Saya telah memperingatkannya, tetapi dia tidak mau mendengar," Pun terisak.
"Bagus itu putrimu. Jika dia adalah anak saya, saya tidak akan mewariskan apa-apa kepadanya."
"Tolong jangan menyalahkan dia. Ini adalah karma saya sendiri," kata Pun, yang tetap memihak putrinya.
"Bolehkah saya bertanya, sejak kamu terbaring sakit seperti ini, apa putrimu pernah mencucikan baju untukmu, baju yang ternoda oleh tinja dan urin?"
"Tidak, tidak pernah, dia membenci melakukannya. Dia menyerahkannya pada Tid, yang melakukan itu semua untuk saya," dia berkata, menunjuk suaminya.
Belum selesai bicara, Tuan Kum berjalan menaiki tangga. Ketika dia melihat Phra Khru, dia maju, berlutut dan memberi hormat padanya.
"Luang Poh, kapan Anda sampai ?"
"Sesaat yang lalu. Bagaimana kabarmu? Sudah berapa rai yang kamu panen?"
"Sekitar tiga atau empat rai, Hari ini saya menyewa sepuluh orang. Tunggu sebentar, saya akan mengambilkan kalian air," dia berkata, siap-siap untuk bangun. Tetapi Phra Khru memberi isyarat untuk berhenti.
" Itu tidak perlu. Saya sudah minum, kamu pasti sudah lelah, kamu seharusnya beristirahat sejenak. Saya akan pergi sebentar lagi."
"Tid, putri kita baru saja ke sini untuk meminta uangnya," Pun memberitahu suaminya.
"Dan apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu beritahukan padanya?"
"Saya memberitahu dia bahwa kita belum mendapatkannya. Dia tampak sangat marah."
"Putrimu itu buruk. Saya memintanya untuk membantu mencuci baju ibunya, tetapi dia menolak." Phra Khru memberitahunya.
"Dia keterlaluan, Luang Poh. Dia percaya jika dia lebih pintar dari orang tuanya, sehingga dia tidak mempercayai apa pun yang diajarkan padanya. Dia memandang rendah orang tuanya karena kami hanya lulus kelas empat. Saya rasa dia tidak akan maju-bukan bermaksud mencela putri saya sendiri," Kum mengatakan dengan lelah, kecewa karena dia tidak mampu membesarkan anak seperti yang dia inginkan.
" Jangan salahkan pada anak,Tid. Ini adalah karma kita." Pun menegur suaminya, sambil mencoba dengan sulit untuk mengerakkan dirinya sendiri. Berbaring di satu posisi selama bertahun-tahun telah membuat daging punggungnya jadi borok yang parah, dan dari sana, nanah mengalir terus menerus.
"Kamu selalu memihaknya, itulah sebabnya dia jadi seperti ini," Kum berujar
"Tetapi itu benar, Luang Poh, apa Anda mempercayai saya? Ini adalah karma saya sendiri, saya telah melakulan hal yang sama pada ibu saya, jadi sekarang putri saya sendiri melakukan hal yang sama terhadap saya. Saya akan menceritakan kisahnya." Dia berhenti untuk bernafas berat dua atau tiga kali, kemudian mulai bertutur dengan suara pelan.
" Ibu saya lumpuh selama bertahun-tahun. Saya tidak pernah mencucikan bajunya. Pada saat itu, saya tinggal dengan nenek saya, bukan dengan ibu saya. Ketika ibu saya meminta saya mengantarkan makanan untuknya, saya hanya meletakkannya disana dan langsung kembali ke rumah nenek saya. Ibu saya pernah sekali meminta saya untuk mencucikan bajunya, tetapi saya tidak mau melakukannya. Ketika ayah saya pulang dari bekerja di sawah, ayah harus mencucikan baju untuk ibu saya.
Saya tinggal bersama nenek saya dan tidak pernah sekalipun pergi untuk merawat ibu saya. Kami tinggal di rumah masing-masing. Nenek saya memasakkan untuknya dan saya mengantarkannya ke ibu setiap hari. Ketika saya telah mengirimkan makanan, saya langsung pulang ke rumah. Tidak pernah sekalipun saya mencucikan bajunya. Itulah sebabnya saya tidak marah dengan putri saya karena tidak mencucikan baju," Pun bercerita.
"Oh, itulah sebabnya, kalau begitu."
Sekarang kepala Wihara Ambhawan mengerti bagaimana hukum karma bekerja dalam kasus putri Pun. Tetapi beliau tidak mengungkapkan apa yang telah beliau lihat kepada suami istri itu karena beliau tidak ingin menyebabkan mereka khawatir.
" Saya rasa saya harus mengucapkan selamat tinggal sekarang, dengan demikian, kalian bisa beristirahat."
Ketika tahu bahwa biksu itu akan pergi, Pun tiba-tiba merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Berbicara dengan beliau telah membuatnya melupakan rasa sakitnya. Dia berteriak dengan keras, "Luang Poh, saya sangat menderita, tolong bantu saya."
"Kamu telah berlatih meditasi pandangan terang,bukan? Saya ingat kamu telah menghabiskan waktu lama di Wihara Ambhawan."
" Ya,saya pergi dua kali sebelum saya jatuh sakit. Kali pertama saya tinggal selama tujuh hari, kali kedua selama lima belas hari."
" Nah, kami bisa menggunakan pengetahuan itu untuk menyelamatkan dirimu sendiri."
"Bagaimana saya bisa menggunakannya, Luang Poh? Saya sudah lupa semuanya, karena saya tidak banyak berlatih sejak meninggalkan wihara. Setelah saya sakit, saya berhenti sama sekali."
" Tidak apa-apa. Jika kamu sudah lupa semuanya, saya dapat menyegarkan kembali ingatanmu. Masih lebih baik daripada benar-benar mulai dari awal. Sekali kamu pernah melakukannya, maka selalu ada yang tertinggal. Dengarlah, kapanpun kamu merasa sakit, cukup tetapkan pikiranmu disana. Kita menyebutnya menggunakan rasa sakit sebagai objek pengertian. Kemudian katakan dalam hati, 'sakit, sakit' berdasarkan bagaimana sesungguhnya yang kamu rasakan. Ketika pikiranmu terkonsentrasi, kamu akan menemukan bahwa rasa sakitnya sudah hilang. Dapatkah kamu melakukannya?"
" Ya, saya rasa bisa."
" Kamu harus mampu melakukannya. Jangan hanya pikir kamu bisa. Kamu harus benar-benar menetapkan pikiranmu untuk melakukan ini. Kamu harus menggunakan sadar-penuh untuk meredakan penderitaan, mengerti?"
" Ya,terimakasih, Luang Poh. Jika Anda memiliki waktu tolong datang dan kunjungi saya lagi. Saya rasa, saya tidak akan hidup terlalu lama lagi. Paling tidak Anda bisa membantu mengirimkan kesadaran saya ke alam bahagia," dia berkata, sebagai seseorang yang melihat kematian sebagai sesuatu yang wajar.
" Kamu tidak memerlukan saya untuk mengirimkan kesadaranmu, Kamu dapat melakukannya sendiri. Jika kamu telah berlatih, kamu akan tahu jalan mana yang harus ditempuh, dan kamu tahu bagaimana cara berlatih guna menuju kesana."
"Saya tahu teorinya, tetapi praktiknya, saya masih belum dapat melakukannya."
" Itu berarti kamu belum benar-benar tahu. Jika kamu benar-benar mengerti, kamu dapat berlatih. Ingatlah ini. Hari ini saya memberikanmu beberapa renungan berbagai topik. Jika kamu dapat mempraktikkannya, kamu akan mampu meringgankan penderitaanmu. Saya harus mengucapkan selamat tinggal sekarang."
Tuan Kum cepat-cepat menemani biksu itu ke mobil, dimana Somchai telah menunggu sejak biksu itu berkata bahwa sudah waktunya pulang. Biksu itu berbicara memberi semangat kepada Kum :
" Bersabarlah. Anggaplah ini sebagai karma yang kalian miliki bersama. Pun pasti telah menyenangkanmu dikehidupan lampau, jadi sekarang kamu harus membalasnya. Bayarlah utangmu sehingga tidak akan ada lagi karma luar biasa diantara kalian."
" Ya, Luang Poh. Dikehidupan ini saya terlahir untuk membayar utang pada istri dan anak-anak saya. Saya akan terus menjalani karma saya hingga saya meninggal, kemudian di kehidupan selanjutnya saya tidak akan terlahir kembali sebagai 'Kum tua". Saya ingin terlahir sebagai seorang biksu seperti Anda sehingga saya dapat memotong semua karma ini." dia berkata, seperti seorang yang pengalaman dalam hidup.
" Itu bagus. Saya memberikan berkah saya jika ini adalah jalan yang kamu inginkan. Semoga kamu memiliki tekad dalam Dharma. Jika tekadmu kuat, keinginanmu akan terwujud. Saya pamit sekarang, selamat tinggal."
"Ya, terimakasih banyak, Luang Poh. Terimakasih karena telah datang untuk melecut kesadaran saya dan memberikan saya kekuatan untuk terus berjuang. Semoga Anda mencapai Nirwana segera." Ini adalah berkah yang Phra Khru khususnya sangat senang menerimanya, walaupun beliau menyadari mencapai Nirwana cepat atau lambat itu tergantung pada ketekunan seseorang.
Selagi mobil bergerak menjauh, Somchai berkata," Luang Poh, Anda duduk berbicara begitu lama, tidakkah Anda mencium bau busuknya? Meskipun saya duduk lebih jauh, ia tetap membuat saya muak."
Phra Khru tidak menjawab, tetapi sebaliknya berkata, " Apa kamu melihat putri mereka? Yang mengendarai BMW? Dia sangat jelek!"
" Jelek?! Saya pikir dia cantik. Sayang sekali, saya terlahir terlalu terlambat, kalau tidak saya pasti akan memacarinya. Dia memiliki segalanya, kecantikan, uang dan kepintaran."
"Kamu hanya melihat luarnya saja, nilai-nilai yang dangkal, tetapi apa yang ada di dalamnya kamu tidak melihat."
" Tetapi tidak perlu melihat yang dalam, Luang Poh!"
" Tentu saja perlu, Somchai, Mengapa tidak perlu? Karena orang-orang berfikir seperti dirimu, sehingga mereka tidak menemukan kebahagiaan dalam pernikahan, mereka hanya melihat hal-hal di luar."
"Saya tidak akan berdebat dengan Anda, Luang Poh. Saya sakit kepala sejak datang ke sini, Hari ini saya bertemu dengan masalah-masalah yang demikian berat. Mengapa kita bertemu masalah-masalah yang demikian berat hari ini? Hari kamis adalah hari kelahiran saya."
"Baiklah, kalau begitu, karena kamu telah bertemu dengan masalah-masalah yang begitu berat hari ini, dengarkan satu cerita serius lainnya, maka kamu tidak harus membawa sebuah beban yang berat ke depannya. Apakah kamu tahu apabila saya melihat balasan karma yang tersimpan untuk wanita dengan BMW itu? Dimasa depan, dia akan lumpuh seperti ibunya, dan putrinya tidak mau datang untuk mengurusi keperluannya juga. Dan kasusnya bahkan lebih parah, karena suaminya akan meninggalkannya dan mencari istri baru. Dia tidak datang untuk menjaganya seperti ayahnya yang sekarang merawat ibunya."
" Itukah sebabnya mengapa Anda bersikeras agar dia mencucikan baju ibunya? Anda ingin menolongnya, tetapi dia tidak membalas niat baik Anda. Sungguh sayang sekali. Bahkan jika saya seumur dengannya, saya tidak akan memacarinya. Saya tidak tahan mencuci bajunya yang kotor, bau!" reaksi Somchai berubah.
"Itulah sebabnya saya berkata bahwa itu adalah karma--karma yang tidak dapat ditolong oleh siapapun. Saya telah mencoba tetapi sia-sia. Hal itu harus diserahkan kepada karma, seperti yang Buddha ajarkan : kammana vattati loko, 'Semua makhluk berurusan dengan karma mereka."
Sumber :
Pemandangan Kehidupan
Masa lalu dan Masa Depan di Mata Guru Meditasi ( 2 )
#Karaniya