Pesan Bhikkhu Sri Pannyavaro Agar Bebas dari Penderitaan ( Bermeditasilah untuk membersihkan pikiran )

Pesan Bhikkhu Sri Pannyavaro Agar Bebas dari Penderitaan ( * Bermeditasilah untuk membersihkan pikiran )

Buddha membabarkan Dhamma lebih dari 40 tahun yang kemudian dikumpulkan menjadi Tipitaka. Isinya sangat luas, terdiri dari 45 jilid buku yang sangat tebal. Bahkan dalam Tipitaka Chanting yang digelar selama dua hari di Candi Borobudur, Magelang tanggal 25-26 Juli hanya berhasil menyelasaikan dua sutta, yaitu Brahmajala Sutta dan Samannaphala Sutta.

“Kalau Tipitaka semua dibacakan, kapan akan katam? Katam itu tamat. Mungkin 30 tahun belum tamat,” ujar Bhikkhu Sri Pannyavaro dalam uraian Dhamma saat Asadha Agung usai Tipitaka Chanting di pelataran barat Candi Borobudur (Baca Perayaan Asadha Untuk Pertama Kalinya Digelar di Candi Borobudur)

Namun Dhamma yang sedemikian luas tersebut diringkas dalam sebuah kata kunci, seperti yang Buddha katakan kepada Bhikkhu Anuraddha.

“Wahai Anuraddha, dahulu dan sekarang hanya ini yang Ku ajarkan. Apakah itu? Penderitaan dan lenyapnya penderitaan,” Bhante Pannyavaro mengutip ucapan Buddha kepada Bhikkhu Anuraddha.

Kata kuncinya adalah penderitaan dan lenyapnya penderitaan. Inilah yang menggerakkan kita untuk menjalankan Dhamma.

Bhante Pannyavaro menambahkan, penderitaan adalah masalah semua orang, bukan hanya umat Buddha. Membicarakan tentang penderitaan adalah uraian yang sangat menarik, tapi lenyapnya penderitaan lebih menarik dan lebih perlu.

Bhante Pannyavaro mengutip kata-kata Dalai Lama yang mengatakan tak ada seorang pun yang ingin menderita, itulah yang mempersatukan semua orang. Karena setiap orang tidak ada yang ingin menderita, apa pun agamanya, apa pun suku bangsanya. Karena menolak penderitaa itulah, semua orang mencari kebahagiaan.

Tetapi yang sering terjadi adalah kita mencari kebahagiaan untuk menutup-nutupi penderitaan, bukan untuk melenyapkan penderitaan. Memang benar akan senang, tetapi cuma sebentar. Penderitaan akan muncul lagi. Apalagi jika kesenangan itu dicari dengan cara kebablasan, justru akan menimbulkan penderitaan baru.

“Hawa nafsu selalu muncul sangat menarik. Dan kalau kita terpikat, kita menjadi puas, menjadi senang, tapi cuma sebentar. Kemudian penderitaan bertambah,” jelas Bhante.

Guru Agung kita meminta kita untuk mengubah cara berpikir, jangan menutupi penderitaan dengan kesenangan, tetapi selesaikan penderitaan dengan mencari sebabnya, mencabut akarnya.

Akar penderitaan adalah (1) keserakahan dengan segala turunannya: iri hati, tidak senang melihat orang lain maju, keserakahan, dan lain-lain; (2) kebencian: senang melihat orang lain sengsara, dendam, jengkel, marah; dan (3) arogansi keakuan.

“Jika keserakahan, kebencian dan arogansi keakuan ini dikurangi, meskipun penderitaan belum habis, kalau penderitaan berkurang, sudah otomatis kita akan bahagia,” lanjut Bhante.

Sebenarnya Guru Agung kita tidak mengajarkan kita untuk mengejar kebahagiaan, mencari kebahagian, tetapi kurangilah penderitaan. Kalau penderitaan berkurang, meskipun belum habis, kita akan lebih bahagia.

Akar penderitaan itulah yang harus dicabut, bukan ditutupi. Bagaimana caranya?

Jangan membunuh meskipun binatang, tapi kembangkan cinta kasih. Jangan mencuri yang bukan haknya, tapi bisa berdana. Jangan selingkuh, tapi membangun kehidupan rumah tangga yang baik. Jangan berbohong, tapi mengucapkan kata-kata yang enak, benar, dan tidak nyelekit (menyakiti). Tidak hanya tidak mabuk, tapi memilih makanan yang sehat dan bermeditasi.

Itu adalah pengendalian diri, sila. Jika sudah mengendalikan diri, tetapi sudah bebaskah kita dari penderitaan? Belum.

“Meskipun kita hati-hati tidak melakukan kejahatan, mengendalikan diri, menambah kebaikan, kita tetap menjadi tua, sakit, meninggal dunia,” jelas Bhante. Orang baik dan orang jahat tetap akan mengalaminya.

Ini adalah problem besar umat manusia, dari raja sampai orang biasa. “Oleh karena itu bermeditasi,” Bhante menyarankan.

Meditasi akan membuat pikiran kita jernih, juga akan mendeteksi jika keserakahan atau keakuan muncul sehingga perilaku kita baik.

“Kalau sibuk mengendalikan ucapan dan perbuatan, tapi tidak pernah meditasi, saudara akan gagal terus. Karena sumber perilaku yang buruk itu dari pikiran. Kalau pikiran kotor, air yang mengalir akan kotor. Kalau pikiran bersih, ucapan dan perbuatan yang mengalir akan bersih.

“Bermeditasilah untuk membersihkan pikiran,” Bhante kembali menyarankan.

Bhante bercerita, di dalam banyak retret meditasi, umat agama lain ikut bermeditasi, sudahkah umat Buddha bermeditasi setiap hari? Selain duduk diam, tetapi juga sadar setiap saat.

Jika kita mempunyai praktek Dhamma yang baik, Bhante melanjutkan, keakuan kita akan berkurang dan menjadi tenang, “(Menghadapi) kematian tidak gentar. Kematian, usia tua? Rapopo.” Rapopo = tidak apa-apa, sebuah ungkapan menerima dengan tulus dan lapang dada.

Kita tidak mungkin bisa mengatakan ‘ora gelem’ (tidak mau/menolak) kepada usia tua dan kematian. Dengan pikiran yang bersih, dengan mendeteksi keserakahan-kebencian-keakuan, dengan melihat perubahan sebagaimana adanya, termasuk usia tua dan kematian, semuanya itu hanyalah perubahan. Anicca tidak perlu membuat kita menderita.

Tidak ada seorang pun yang bisa menghentikan perubahan, termasuk Guru Agung kita. Tetapi Guru Agung kita memberikan cara menghentikan penderitaan.

“Itulah kata kunci ajaran Guru Agung kita, bebas dari penderitaan,” jelas Bhante.

“Kita tidak bisa merevolusi mental orang lain, orang lain juga tidak bisa mengubah mental kita. Kita sendiri yang harus berjuang mengubah mental kita menjadi lebih sehat dan dewasa, dengan sila dan meditasi. Tidak ada cara lain, apalagi menggantungkan diri pada batu akik,” tegas Bhante yang disambut tawa hadirin.

“Oleh karena itu marilah kita praktek Dhamma. Sangat bermanfaat bagi kehidupan kita. Seandainya kita belum bisa membebaskan diri dari penderitaan, kita bisa mengurangi penderitaan. Kurangnya penderitaan itu sudah tentu kebahagiaan. Tidak usah dicari, kebahagiaan akan datang sendiri. Saat penderitaan berkurang, kebahagiaan akan muncul,” ajak Bhante.

Memuja memang baik, tapi yang tertinggi adalah praktek Dhamma. Memuja Buddha dengan praktek Dhamma yang benar.

Memuja Buddha dengan praktek Dhamma yang benar, memuja Dhamma dengan praktek Dhamma yang benar, memuja Sangha dengan praktek Dhamma yang benar. Dengan jalan itulah kita mendapat manfaat untuk bebas dari penderitaan.

“Marilah menghormat Tiratana dengan praktek Dhamma yang benar,” tutup Bhante Pannyavaro.

Sumber: Sutar Soemitro

Semoga bermanfaat 🙏🏻💖☺😊