SIKAP LUWES SEORANG BHIKKHU DI TENGAH-TENGAH PERUMAH TANGGA

SIKAP LUWES SEORANG BHIKKHU DI TENGAH-TENGAH PERUMAH TANGGA

Santakāyo santavāco, santavā susamāhit o,

vantalokāmiso bhikkhu, “upasanto”ti vuccati

Seorang bhikkhu yang tenang jasmaninya, tenang ucapannya,

tenang batinnya, terkonsentrasi dengan baik,

serta telah meninggalkan kesenangan inderawi,

disebut manusia damai.

(Dhammapada Syair 378)


Hidup Bergantung pada Kedermawanan

Mempraktikkan kehidupan selibat sebagai seorang bhikkhu di bawah ajaran Sang Buddha hanya memiliki satu tujuan utama. Latihan ini dipraktikkan demi mengakhiri penderitaan (dukkha). Setiap bhikkhu hendaknya mengarahkan dirinya secara total demi pencapaian tertinggi,nibbāna. Berpegangan pada niat mulia ini, seorang bhikkhu tidak diharapkan untuk terlalu disibukkan oleh berbagai urusan duniawi, tetapi menekankan pada perkembangan spiritual. Untuk mencapai ini, dukungan dari umat awam sangat dibutuhkan. Sang Buddha sadar akan hal ini. Kehidupan seorang bhikkhu tidak bisa sepenuhnya dipraktikkan tanpa mendapatkan sokongan dari umat awam. Dalam khotbahnya,Pabbajitabhiṇha Sutta,Sang Buddha sendiri mengakui bahwa kehidupan para bhikkhu tergantung pada kedermawanan umat awam. Terkait dengan hal ini,
Papañcasūdani, III, 338 menceritakan kisah bhikkhu Aṅgulimala. Dikatakan bhikkhu ini menghadapi kesulitan untuk mempraktikkan Dhamma dan Vinaya disebabkan karena kekurangan makanan. Pentingnya mendapatkan kebutuhan pokok ini juga tercermin dari kebiasaan Sang Buddha ketika menyapa para muridnya yang datang dari jauh ketika mengunjungi Beliau. Biasanya Beliau akan menanyakan apakah mereka tidak kekurangan dalam makanan di tempat mereka.

Ketergantungan para bhikkhu terhadap kedermawanan umat awam menciptakan hubungan yang tidak bisa dihindari. Para bhikkhu tidak bisa seluruhnya terlepas dari umat awam. Kenyataannya, sejauh berada dalam koridor yang diperkenankan, para bhikkhu harus menjaga hubungan baik dengan umat awam. Mengetahui kebutuhan-kebutuhan para bhikkhu demi mendukung perkembangan praktik mereka, umat awam pun menyediakan kebutuhan-kebutuhan pokok seperti makanan, tempat tinggal, jubah dan obat-obatan jika dibutuhkan.

Hidup Sederhana: Menjaga Keyakinan Umat

Hidup sebagai seorang bhikkhu adalah praktik mulia. Cara hidup yang ditempuh telah berbeda dari sebelumnya ketika masih mengenakan baju perumah tangga. Sementara hidup di tengah-tengah masyarakat, seorang bhikkhu diharapkan menjaga tindak-tanduknya sehingga tidak merugikan dirinya maupun orang lain.

Pada jaman Sang Buddha, para pertapa termasuk para bhikkhu dianggap masyarakat India sebagai orang-orang yang menjalankan kehidupan sederhana dengan sedikit keinginan. Oleh karena itu, ketika ada bhikkhu tertentu hidup menikmati kesenangan inderawi berlebihan layaknya para perumah tangga, masyarakat segera memberikan kritikan. Vinaya piṭaka memberikan banyak contoh terkait dengan hal ini. Melihat kondisi ini, Sang Buddha, di samping melihat manfaat yang didapatkan dari kehidupan sederhana, menetapkan beberapa peraturan latihan bagi para muridnya, supaya tercipta keharmonisan antara para bhikkhu dan perumah tangga.

Kenyataannya, di antara sepuluh manfaat menetapkan peraturan-peraturan latihan bagi para bhikkhu, Sang Buddha mengatakan bahwa dua manfaatnya berhubungan erat dengan kehidupan religius umat awam, yakni:

- Menumbuhkan keyakinan bagi mereka yang belum yakin (appasannānaṃ vā pasādāya).

- Menambah keyakinan bagi mereka yang sudah yakin (pasannānaṃ vā bhiyyobhāyāya).

Hal yang sama disebutkan dalam Kitab Komentar Aṅguttaranikāya, V, 32-33. Di sini, kembali ditegaskan bahwa sudah merupakan kewajaran jika keyakinan umat awam terhadap ajaran Sang Buddha bertambah ketika melihat tindak tanduk para bhikkhu yang luwes sesuai dengan peraturan-peraturan latihan. Demikianlah, hidup sederhana sesuai dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan, membantu bukan hanya bagi pribadi seorang bhikkhu itu sendiri, tetapi juga menumbuhkan keyakinan umat terhadap ajaran kebenaran, Dhamma.

Menghindari Penghidupan Salah

Menjalankan kehidupan sederhana hendaknya menjadi moto hidup setiap bhikkhu. Mereka diharapkan untuk hidup puas dengan apapun yang dipersembahkan perumah tangga. Kepuasan adalah harta tertinggi, dan kepuasan merupakan salah satu kwalitas yang harus ditumbuhkan dalam batin setiap bhikkhu. Dalam beberapa khotbahnya, Sang Buddha memuji para muridnya yang hidup puas dengan sedikit yang dimilikinya. Sang Buddha dalamRathavinita Sutta memuji muridnya bhikkhu Puṇṇamantani putta yang hidup sederhana dan puas. Ekspresi yang sama diberikan Sang Buddha dalamKassapa saṃyutta kepada bhikkhu Mahā Kassapa yang menjalankan kehidupan sederhana demikian.

Melihat manfaat yang timbul dari kehidupan sederhana dan bahaya yang disebabkan keserakahan, agama Buddha melarang beberapa penghidupan salah bagi para bhikkhu sementara hidup di tengah-tengah masyarakat:

-Vinaya, III, 144 mengutip sebuah peraturan untuk melarang para bhikkhu hidup meminta umat awam dengan cara memaksa. Pelanggaran ini bisa mengakibatkan pelanggaransaṅghadisesa.

-Visuddhi magga memberikan definisi penghidupan salah (micchāājīvā) yang harus dihindari para bhikkhu. Penghidupan salah yang dimaksud adalah :
1) berencana dengan pikiran tidak baik demi memperoleh materi,
2) berbicara dengan tujuan mendapatkan materi,
3) memberikan tanda tertentu supaya mendapatkan materi,
4) menjelekkan pihak lain supaya ia mendapatkan materi, dan
5) memberikan sesuatu atau hadiah tertentu demi mendapatkan materi.

* Sīlakkhandha vaggadari
Dīghānikāyamengutip beberapa penghidupan tidak benar yang seharusnya dihindari para bhikkhu, seperti ilmu nujum (seperti perbintangan), meramal, menjadi dokter untuk umat awam, pesuruh, dll.

Bersikap Madya dalam Menerima Persembahan

Makanan adalah salah satu kebutuhan yang sangat vital bagi setiap makhluk.Sabbe sattā āhāratiṭṭhikā– setiap makhluk bertahan karena makanan. Namun demikian, makan secara berlebihan dapat menimbulkan penyakit jasmani dan bahkan penyakit mental. Karena itulah, Sang Buddha sering menasehati para muridnya untuk mengkonsumsi makanan sesuai dengan kebutuhannya (mattaññuta bhattasmiṃ). Penting untuk dicatat di sini, Kitab Komentar untukSaṅgiti Sutta(DA. iii, 1015) memberikan informasi menarik bagaimana seorang bhikkhu hendaknya mengetahui ukuran yang sesuai ketika menerima persembahan makanan dari umat awam. Latihan ini mencerminkan prinsip dasar kehidupan sederhana. MenurutSuttaini, ada empat hal yang harus dipertimbangkan ketika menerima makanan dari perumah tangga, yakni:

- Ketika si pemberi memiliki banyak hal yang bisa diberikan tetapi berkeinginan memberikan sedikit, seorang bhikkhu hendaknya mengambil sedikit.

- Ketika si pemberi memiliki banyak hal yang bisa diberikan dan juga berkeinginan memberikan banyak, seorang bhikkhu mengambilnya dengan pengendalian diri, mengetahui ukuran yang layak.

- Ketika si pemberi memiliki sedikit hal yang bisa diberikan tetapi berkeinginan memberikan banyak, seorang bhikkhu hendaknya mengambilnya dengan pengendalian diri, mengetahui ukuran yang layak.

Dalam kitab komentar ini pun disebutkan bahwa ketika seorang bhikkhu tidak mengetahui ukuran layak dalam menerima persembahan makanan, keyakinan umat awam terhadap Buddha Dhamma merosot. Kasus-kasus seperti ini banyak terkutip dalam Vinaya piṭaka, dan tidak terjadi hanya berhubungan dengan makanan saja. Seorang bhikkhu hendaknya melatih sikap madya seperti yang disebutkan di atas terkait dengan persembahan jubah, tempat tinggal, dan keperluan-keperluan lainnya. Oleh sebab itu, Papañcasūdani(MA. ii, 140) menyebutkan tiga kemampuan yang harus dimiliki seorang bhikkhu sebelum menerima empat kebutuhan pokok dari umat awam:

- Ia hendaknya mengetahui keinginan si pemberi (dāyakassa vasaṃ jānāti).

- Ia hendaknya mengetahui jumlah yang bisa diberikan oleh si pemberi (deyyadhammassa vasaṃ jānāti).

- Ia pun hendaknya mengetahui kekuatannya (attano thāmaṃ jānāti).

Tiga kemampuan di atas berhubungan erat dengan empat kebijakan di atas. Dijelaskan di sini bahwa jika barang yang bisa diberikan banyak, tetapi si pemilik berkeinginan memberikan sedikit, maka mengetahui keinginan si pemberi, seorang bhikkhu mengambil sedikit; meski si pemberi berkeinginan memberi banyak namun barang yang bisa diberikan sedikit, maka setelah mengetahui jumlah barang tersebut, seorang bhikkhu mengambil sedikit; jika baik barang yang dapat diberikan banyak dan si pemberi ingin memberi banyak, maka seorang bhikkhu, setelah mengetahui kekuatannya sendiri, mengambil sesuai dengan ukuran. Mengetahui kekuatannya sendiri di sini adalah ia mengetahui seberapa besar ia membutuhkan untuk mempertahankan kehidupannya. Dalam kondisi ini pun, ia harus bersikap madya.

Sikap Bijak ketika Berkunjung ke Perumah tangga

Setelah menerima kebutuhan-kebutuhan pokok dari kedermawanan perumah tangga, sebagai rasa terima kasihnya, para bhikkhu memiliki satu tugas terhadap mereka. Para bhikkhu harus memberikan bimbingan Dhamma kepada mereka, mendorongnya untuk berbuat baik dan mencegah mereka dari kejahatan (D. iii, 193). Kewajiban ini menyebabkan para bhikkhu, sesekali, di saat-saat tertentu, harus mengunjungi perumah tangga. Di saat-saat seperti inilah, seorang bhikkhu hendaknya bisa bersikap sesuai yang tidak mencemari batinnya, di samping tidak menunjukkan ketidak pantasan di depan perumah tangga.

Nasehat-nasehat yang tertuang dalam dua khotbah dalamKassapa saṃyutta
bernama Candūpama SuttadanKulūpaka Sutta, bertalian erat dengan ini. Dua khotbah ini memberikan gambaran jelas bagaimana seorang bhikkhu hendaknya bersikap dengan perumah tangga ketika harus mengunjunginya. Khotbah pertama,Candūpama Sutta, menyebutkan bahwa ketika mengunjungi perumah tangga, seorang bhikkhu hendaknya bersikap seperti pendatang baru, tidak menunjukkan kelancangan terhadapnya. Artinya, ia hendaknya mempertahankan sifat rendah hati dan hormat terhadap perumah tangga, bahkan meskipun perumah tangga tersebut sudah lama dikenalnya. Khotbah yang sama juga menjelaskan bahwa seorang bhikkhu tidak layak jika sampai terlibat dalam masalah pribadi rumah tangga. Sikap semacam ini bersesuaian dengan nasehat Sang Buddha yang tercatat dalam Metta Sutta. Diterangkan dalam sutta ini bahwa seorang bhikkhu yang trampil di dalam hal-hal bermanfaat tidak melekat dengan masalah-masalah rumah tangga. Kitab Komentar untuk sutta ini menjelaskan lebih lanjut. Seorang bhikkhu hendaknya mempertahankan keseimbangan batin: tidak begitu meluap dalam kebahagiaan ketika umat awam memperoleh kebahagiaan, dan juga tidak menderita ketika mereka terkena musibah.

Di samping itu,Candūpama Suttajuga menyebutkan bahwa seorang bhikkhu hendaknya tidak membabarkan Dhamma demi mendapatkan popularitas. Sebaliknya, ia membabarkan Dhamma semata-mata hanya karena rasa hormatnya terhadap Dhamma dan karena kasih sayangnya terhadap makhluk lain. Cara pandang seperti ini sangat penting sehingga keegoan halus yang sering muncul ketika membabarkan Dhamma tidak timbul. Dalam Dhammapada syair 74, dijelaskan ada beberapa orang, disebabkan karena keserakahan akan popularitas, berpikir ‘Biarlah orang lain tahu bahwa ini dikerjakan olehku”. Pemikiran demikian justru hanya menyebabkan kemerosotan batin. Keinginan dan kesombongannya bertambah.

Sementara itu,Kulūpaka Sutta, salah satu khotbah yang disebutkan di atas terdapat dalam Kassapa saṃyutta, membedakan antara seorang bhikkhu yang pantas mengunjungi perumah tangga dan bhikkhu yang tidak pantas mengunjungi perumah tangga. Seorang bhikkhu yang merasa malu dengan pemikiran menginginkan materi dari perumah tangga ketika mengunjungi mereka, justru adalah bhikkhu yang pantas mengunjungi perumah tangga. Pemikiran-pemikiran seperti ini harus ditinggalkan, “Semoga mereka (umat awam) memberiku dan tidak membatalkan!”, “Semoga mereka memberiku banyak, dan tidak sedikit!”, Semoga mereka memberiku barang-barang yang bagus, dan bukan buruk!”, “Semoga mereka memberiku dengan cekatan, dan bukan dengan pelan-pelan!”, “Semoga mereka memberiku dengan penuh hormat, dan bukan dengan tidak hormat!”. Pemikiran-pemikiran demikian jika tidak ditinggalkan akan mengakibatkan depresi terutama ketika apa yang diharapkan ternyata tidak didapatkan.

Selain hal-hal di atas, peraturan-peraturan yang terdapat dalamSekhiya(V. iv, 185-206) sangat penting dalam hal ini. Peraturan-peraturan ini dapat dikatakan ciri khas tatakramanya para bhikkhu ketika berada di tengah-tengah perumah tangga. Di sini, seorang bhikkhu diajarkan bagaimana mengenakan jubah, berjalan dan duduk, secara sopan di tengah-tengah umat awam. Intinya, seorang bhikkhu dilatih untuk memperlihatkan pengendalian diri. Ia tidak dianjurkan, misalkan, tertawa terbahak-bahak. Hal ini tidak saja mencerminkan batin yang tidak terkendali, tetapi dapat pula memicu kritikan perumah tangga yang biasanya berharap bahwa bhikkhu harus bersikap luwes, terkendali, dan elegan.

Kesimpulan

Menempuh kehidupan kebhikkhuan adalah sebuah praktik hidup yang sangat mulia. Kemuliaan nya terletak pada tindak tanduknya yang terkendali, hidupnya yang sederhana, serta latihannya yang hanya berupaya memberantas segala bentuk kekotoran batin. Di lain pihak, para perumah tangga sendiri pada umumnya berpandangan bahwa setiap bhikkhu memang seharusnya mempertahankan kehidupan demikian. Demi perkembangan batinnya sendiri dan juga menumbuhkan keyakinan umat awam terhadap ajaran Buddha, setiap bhikkhu dianjurkan untuk melatih diri sesuai dengan Dhamma dan Vinaya yang telah diajarkan Sang Buddha. Ia hendaknya mampu bersikap bijak terutama ketika berinteraksi dengan para perumah tangga. Dengan melatih diri demikian, seorang bhikkhu hidup seperti seekor kumbang mengambil madu bunga tanpa harus merusak warna dan bau bunga.

Mettacittena/ Santacitto