Gagak yang Malang
Gagak yang Malang
Semua orang menginginkan kebahagiaan, tetapi sedikit sekali yang mau memperjuangkannya.
Tidak sedikit pula yang terlena dengan kenikmatan objek indra, hal itu terjadi karena mereka tidak mengetahui bahayanya.
Mereka hidup bagaikan seekor “Gagak yang Malang.”
Untuk membantu anda mengetahuinya, silakan simak kisahnya di bawah ini.
Gagak yang Malang
Kisah ini diadaptasi dari Soṇaka-Jātaka No. 529 (KN 15.529), di mana Paccekabuddha Soṇaka menasihati Raja Arindama (Bodhisatta) yang mabuk akan kesenangan indra. Setelah mendengar nasihat Beliau, Raja Arindama terbangkitkan samvega-nya , dia memutuskan untuk turun dari takhta dan menjadi seorang petapa.
Suatu ketika, seekor burung gagak bodoh melihat seekor bangkai gajah yang besar yang mengapung dan terbawa arus di sungai Gangga. Diliputi oleh keserakahan, dia berpikir, “Itu adalah gudang makanan yang luar biasa, aku akan tinggal di sana siang-malam dan menikmati kebahagian hidup.”
Maka, dia dia terbang ke sana dan berdiam di bangkai tersebut. Siang-malam dia hanya menikmati kebahagiaan hidupnya dengan makan dan minum sepuasnya tanpa memedulikan bahwa bangkai tersebut terus bergerak menuju lautan luas.
Dia bagaikan mabuk kesenangan, sehingga walaupun di sepanjang pinggir sungai terdapat banyak desa-desa makmur dengan vihara-viharanya yang indah dan megah dilewatinya, dia tidak menghiraukannya sama sekali, bahkan untuk sekedar meliriknya pun tidak terbersit di pikirannya. Seiring dengan berjalannya waktu, bangkai tersebut semakin habis dan dia pun semakin tua serta sulit terbang. Akhirnya, ketika bangkai tersebut sampai di tengah lautan – jauh dari mana-mana, bangkai tersebut tidak dapat lagi menopangnya.
Dia berusaha terbang dengan segala kemampuannya, tetapi tidak ada satu pulau pun yang nampak olehnya. Di sana, di tengah lautan luas dia terjatuh dan langsung dimangsa oleh para penghuni lautan.
Maknanya , para manusia bodoh dan malas bagaikan si burung gagak bodoh. Mereka yang terlahir sebagai manusia dengan keadaan yang baik dan kecukupan bagaikan si gagak yang mendapatkan seekor bangkai gajah yang besar.
Mereka siang-malam selalu berusaha untuk memuaskan nafsu indranya tanpa memedulikan bahwa usianya semakin tua dan semakin dekat dengan kematian. Hal ini bagaikan si gagak yang siang-malam hanya makan dan minum sepuasnya tanpa memedulikan bahwa bangkai tersebut terus bergerak menuju lautan luas. Mereka tidak menghiraukan keberadaan Buddha Sāsana dengan tiga puluh tujuh Bodhipakkhiyā Dhammā-nya dan juga sama sekali tidak terpikir oleh mereka untuk melakukan kebajikan .
Hal ini bagaikan si gagak bodoh yang tidak menghiraukan desa-desa makmur dengan vihara-viharanya yang indah dan megah, dan bahkan untuk sekedar meliriknya pun tidak terbersit di pikirannya.
Seiring dengan berjalannya waktu, berkah karma baik mereka semakin berkurang, usianya semakin tua, dan kemampuannya dalam berusaha juga semakin berkurang. Hal ini bagaikan si gagak yang mulai kehabisan bangkai, usianya semakin tua, dan sulit terbang. Berada di akhir kehidupan, jauh dari kebajikan, dan karma baik juga sudah tidak kuat lagi menyokong hidupnya. Hal ini bagaikan si gagak yang sampai di tengah lautan – jauh dari mana-mana dan bangkai tempatnya berdiam juga tidak dapat lagi menopangnya.
Pada umumnya, ketika mereka telah tua , di saat menjelang kematian , mereka baru tersadar dan menyesal , mereka berusaha bertahan hidup dan melakukan kebajikan , tetapi semuanya telah terlambat. Hal ini bagaikan si gagak yang berusaha terbang dengan segala kemampuannya, tetapi tidak ada satu pulau pun yang nampak olehnya.
Mereka meninggal dalam kegelisahan dan kebingungan, buah karma buruk menyerbunya, dan mereka pun terjatuh ke alam bawah untuk menjalani penderitaan yang sulit dilukiskan. Hal ini bagaikan si gagak yang terjatuh di tengah lautan luas dan langsung dimangsa oleh para penghuni lautan yang ganas.