Touching the Miracle of Life through Mindfulness - Part 1
Part 1
Touching the Miracle of Life through Mindfulness
Kita semua ingin dicintai, tapi tidak semua diantara kita bisa mencintai sepenuhnya. Cinta menjadi sebuah kebutuhan dan menjadikan hidup ini berwarna. Hidup tanpa cinta seperti sketsa lukisan hanya dengan corak hitam dan putih. Anda bisa bayangkan itu. Suatu kehidupan menegangkan yang sedang terjadi dalam dunia ini atau bahkan Anda sendiri merasakan kehidupan seperti itu. Banyak diantara kita merasa depresi, bosan, frustasi, tertekan terhadap masalah yang datang bertubi-tubi seolah-olah tanpa akhir. Kita masuk dalam dunia hitam putih. Kita ingin lari dari pahitnya kehidupan.
Pertama-tama kita harus tahu bahwa cinta belum hadir dalam diri. Rasa sakit seakan-akan memanggil untuk mendapat perhatian, tapi, kita lari darinya. Kita takut menderita karena rasa sakit itu. Pada titik ini, kita ingin diperhatikan dan mengharapkan kehadiran orang yang bisa mengerti keberadaan kita. Saat itulah, kita menyadari bahwa kita membutuhkan cinta. Kita merasa penderitaaan yang dipikul sedikit berkurang dengan berbagi. Kita beranggapan bahwa kita tidak sendirian. Akan tetapi, jika kita tidak menemukan orang yang dapat memahami kita, hal itu hanya menambah kesedihan.
Kita tidak percaya diri dalam menghadapi penderitaan sendiri. Kita membutuhkan cinta dan belas kasih orang lain. Inilah yang banyak yang dilakukan orang. Meskipun kita terhibur karena keberadaan orang lain di sisi kita, tapi rasa sakit itu masih ada disana. Menunggu waktu yang tepat untuk keluar. Saat dia keluar ke permukaan (ingatan), kita menderita lagi. Dengan adanya cinta kasih dalam diri, orang tidak akan melarikan diri dari penderitaan. Kekuatan cinta akan mendekap dan memeluk penderitaan, menyadari bahwa diri sendiri sedang menderita.
Ketika sedang mengamati penderitaan itu, Anda mungkin merasakan bahwa rasa sakit itu bertambah besar. Anda tidak sanggup melihatnya. Cobalah untuk bertahan karena itu hanyalah permainan pikiran yang suka mendiskriminasi dan melebih-lebihkan suatu masalah. Masalah memang telah terjadi dan hanya sebatas pada momen saat terjadinya, serta bersifat netral. Tapi, kejadian tersebut tersimpan dalam memori kita. Pikiran yang tidak terlatih membawa-bawa masalah, terus mengingat, dan kita bereaksi terhadapnya. Reaksi inilah yang menimbulkan karma baru. Jika kita bereaksi positif, maka masalah itu tidak menjadi masalah buat kita. Tapi, jika kita bereaksi negatif, penderitaan akan segera menghampiri. Kita menganggap masalah itu sebagai milik kita. Kita menggenggam dan membawanya dalam kehidupan sehari-hari. Masalah yang sebenarnya kecil dibuat besar.
Bagi mereka yang memiliki sudut pandang negatif selalu membuat masalah dalam hidupnya. Semua itu berakar dari cara pandang yang berlandaskan ego. Contohnya, ada seseorang yang memarahi kita. Terjadi kontak indera pendengaran yang memunculkan kesadaran indera. Dalam kasus ini, yaitu kesadaran indera pendengaran. Kesadaran indera ini hanya mengenali sebuah objek ‘suara’. Lalu, mengapa perbuatan (karma) yang telah dilakukan dapat berbuah berkali-kali lipat?
Persepsi (sanna) bekerja mengenali objek tersebut secara keseluruhan dan mendefinisikannya sebagai realitas konseptual, seperti pohon, pria, wanita, kereta, mobil,dll. Kita bisa tahu itu suara mobil, kicauan burung, dll, karena persepsi lampau kita. Selanjutnya proses pikiran melalui pintu batin menilai objek tersebut, apakah baik atau buruk. Kemudian, muncul perasaan dari akibat kontak indera tersebut. Dari perasaan memunculkan nafsu keinginan. Kebiasaan kita adalah menolak perasaan yang tidak menyenangkan dan melekati perasaan menyenangkan. Pikiran yang tidak terlatih seperti ikan yang dilempar di darat, menggelempar, meronta, menggeliat, dikuasai oleh nafsu indera, menganggap ini sebagai perasaanku, sensasiku, kemudian melekat padanya. Karena kemelekatan inilah, maka menimbulkan penderitaan. Kemelekatan mendorong kehendak (cetana) untuk berbuat. Dalam kasus ini kita mendengar kata-kata kasar, lalu kita bereaksi dengan balik memarahinya atau menyimpan dendam. Inilah bagaimana kita menciptakan karma baik dan buruk.
Ingatan dari proses pikiran melalui pintu batin turut bekerja. Dia memutar kembali kejadian tersebut dalam pikiran sehingga objek tersebut semakin jelas. Kita menggenggam persepsi ini sebagai ‘aku’, demikianlah kita menderita. Kita tidak mampu melihat bahwa semua hanyalah proses yang saling bergantung. Tiada yang berdiri sendiri. Sifatnya kosong dari ‘diri’. Meskipun kejadian tersebut telah berlalu, kita terus mengingat dan melekat, sehingga tercipta bentukan pikiran (sankhara). Dalam kasus ini bentuk-bentuk mental berakar kebencian. Proses pikiran berakar kebencian ini akan mewujudkan tindakannya dalam ucapan maupun perbuatan jasmani, alhasil akan menjadi benih karma yang tersimpan dalam gudang kesadaran kita.
Oleh karena itu, dalam Dhammapada dikatakan bahwa pikiran adalah pelopor, pemimpin, dan pembentuk. Benih karma yang telah ditanam pada akhirnya akan menunggu waktu untuk berbuah jika semua kondisi terpenuhi. Dari penjelasan ini, kita telah menciptakan karma negatif melalui pikiran. Ingatan ini tidak muncul sekali, tapi berulang kali, dan kita terus bereaksi. Jika kita bereaksi dengan kemarahan, tampaknya kita hanya marah sebentar, tapi proses pikiran begitu cepat, sudah berapa banyak sankhara (bentuk-bentuk mental) yang tercipta? Oleh karena itu, karma yang telah ditanam mampu menghasilkan buah yang berkali-kali lipat. Kita tidak menyadari bahwa kita telah menciptakan banyak benih karma.
from: group WA